My Fav Song

Senin, 19 Desember 2011

Kasus Tentang Penderitaan Dan Keadilan


Kasus Tentang Penderitaan
Junko Furuta : Gadis yang disekap, disiksa dan diperkosa selama 44 hari
November 1988, cowok a (18 tahun), cowok b (jo kamisaku umur 17), kamisaku adalah nama keluarga yang dia ambil setelah keluar dari penjara), cowok c (umur 16),dan cowok d (umur 17) dari Tokyo menculik dan menyekap furuta, siswi kelas 2 smu dari saitama selama 44 hari. Mereka menjadikan dia tahanan di rumah yang dimiliki orang tua cowok c.

Untuk menghindari pengejaran polisi, cowok a memaksa furuta untuk menelepon orangtuanya dan menyuruhnya mengatakan kalau dia kabur dari rumah, dengan temannya, dan tidak berada dalam bahaya. Bahkan cowok a membuat furuta berpose sebagai pacar dari salah satu cowok – cowok itu ketika orangtua c, pemilik rumah sedang ada dirumah tersebut. Kalau mereka sudah yakin orang tua c tidak akan telepon polisi, mereka pun menyudahi sandiwara tersebut. Furuta mencoba kabur berkali – kali, memohon pada orang tua c untuk menyelamatkan dia, tapi mereka tidak melakukan apa-apa meskipun mereka tahu kalau selama ini furuta disiksa, karena mereka takut kalau cowok a akan menyiksa mereka. Cowok a saat itu adalah pemimpin yakuza kelas rendah dan telah mengancam siapapun yang ikut campur akan dibunuh.

Menurut kesaksian para cowok itu di persidangan, mereka berempat memperkosa furuta, memukulinya, memasukan macam-macam ke dalam vaginanya termasuk tongkat besi, membuatnya minum urinya sendiri dan makan kecoak, memasukan petasan ke dalam anusnya dan meledakanya, memaksa furuta untuk masturbasi, memotong puting dengan tang, menjatuhkan barbell ke perutnya, dan membakarnya dengan rokok dan korek api (salah satu dari pembakaran itu adalah hukuman karena dia berusaha menelepon polisi). Pada sebuah titik luka furuta sangat parah hingga menurut salah satu cowok itu, furuta membutuhkan waktu satu jam lebih untuk merangkak turun tangga untuk menggunakan kamar mandi. Mereka bahkan mengatakan kemungkinan kalau 100 orang tahu kalau mereka menahan furuta di rumah tersebut, tapi hal ini tidak jelas artinya apa 100 orang itu hanya tahu atau mereka ikut memperkosa dan menyiksa juga saat berkunjung ke rumah tersebut. Cowok-cowok itu menolak membiarkan furuta pergi, walau furuta seringkali memohon pada mereka untuk membunuhnya saja dan menyudahi penderitaan tersebut.

Pada January 4, 1989, dengan menggunakan alasan kekalahan salah seorang cowok itu bermain mahyong, keempat cowok itu memukuli furuta dengan barbell besi, menuang cairan korek api ke kakinya, tanganya, perutnya, dan mukanya, dan lalu membakarnya. Dia meninggal tak lama kemudian pada hari itu. Keempat cowok itu menyatakan kalau mereka tidak menyadari betapa parah luka yang dialami furuta, dan mereka percaya kalau furuta hanya berpura2 mati.

Para membunuh itu menyembunyikan mayatnya di drum 55 galon dan memenuhinya dengan semen. Mereka membuang drum tersebut di koto, Tokyo.

Penahanan dan hukuman

Para cowok itu ditangkap dan disidangkan sebagai orang dewasa, tapi karena jepang menangani kejahatan yang dilakukan oleh yang masih dibawah umur, identitas mereka disembunyikan oleh persidangan. Tapi bagaimanapun juga, seminggu kemudian, majalah mingguan bernama shukan bunshun menerbitkan nama mereka, dengan menyatakan “hak asasi tidak dibutuhkan oleh penjahat biadab”. Mereka juga menerbitkan Nama asli furuta dan detail tentang kehidupan pribadinya. Kamisaku dituntut sebagai pemimpin para cowok itu, (entah benar atau tidaknya) menurut persidangan.

Keempat cowok itu diberi keringanan dengan dinyatakanya bersalah dalam tuntutan “membuat luka fisik yang menyebabkan kematian”, dibandingkan tuntutan pembunuhan. Orang tua cowok a menjual rumah mereka dengan harga maksimum 50 juta yen atau 5 miliar rupiah dan membayarnya sebagai kompensasi untuk keluarga furuta.

Untuk partisipasinya di kejahatan ini, kamisaku harus menjalani 8 tahun di penjara anak-anak sebelum dia dibebaskan di bulan agustus 1999. di bulan juli 2004, kamisaku ditangkap karena mencelakai seorang kenalan, yang dia pikir membuat pacarnya menjauhi dia, dan dengan bangga membanggakan tentang keluarganya sebelum mencelakai kenala itu. Kamisaku dihukum 7 tahun dengan tuntutan memukuli.

orangtua junko furuta terkejut dengan kalimat yang diterima dari pembunuh anak perempuanya, dan bergabung dengan grup masyarakat melawan orangtua cowok c yang rumahnya dijadikan tempat menyekap. Ketika beberapa masalah ditimbulkan dari bukti (semen dan rambut yang didapat dari tubuh itu tidak cocok dengan para cowok-cowo yang ditangkap), pengacara yang menangani lembaga masyarakat memutuskan untuk tidak membantu mereka lagi karena merasa tidak ada bukti berati tidak ada kasus atau dakwaan. Ada spekulasi bahwa bukti yang mereka dapat itu didapat dari orang tidak teridentifikasi yang memperkosa atau ikut mukulin furuta.

Satu dari yang paling menggangu dari kisah nyata ini adalah bahwa para pembunuh furuta sekarang bebas. Setelah membuat junko furuta melalui berbagai penderitaan, mereka adalah cowok bebas sekarang.
Semua hal menakutkan setengah mati ini dilakukan pada junko furuta dan dikumpulkan melalui sidang di jepang dan blogs dari 1989. mereka menunjukan kalau sakit yang dialami junko furuta harus dialami bertubi-tubi sebelum akhirnya dia meninggal. Semua ini terjadi denganya sewaktu dia masih hidup, memang sangat mengganggu tapi inilah kenyataanya.
Semua yang terjadi:

Hari 1: 22 november 1988: penculikan
Dikurung sebagai tahanan dirumah, dan dipaksa berpose sebagai pacar salah satu cowok
Diperkosa(lebih dari 400 kali totalnya)
Dipaksa tlp orangtuanya dan mengatakan kalau dia kabur dan situasi aman
Kelaparan dan kekurangan gizi
Diberi makan kecoak dan minum kencing
Dipaksa masturbasi
Dipaksa striptease didepan banyak orang
Dibakar dengan korek api
Memasukan macam-macam (berbagai benda) ke vagina dan anusnya

Hari 11: 1 desember 1988: menderita luka pukulan keras yang tak terhitung berapa kali
Muka terluka karena jatuh dari tempat tinggi ke permukaan keras
Tangan diikat ke langit langit dan badanya digunakan sebagai (samsak) sarana untuk ditinju
Hidungnya dipenuhi sangat banyak darah sehingga dia Cuma bias bernafas lewat mulut
Barbell dijatuhin ke perutnya
Muntah darah ketika minum air(lambungnya sudahtidak bisa menerima air)
Mencoba kabur dan dihukum dengan sundutan rokok di tangan
Cairan seperti bensin dituang ke telapak kaki, dan betis hingga paha lalu dibakar
Botol dipaksa masuk ke anusnya, sampe masuk, menyebabkan luka.

Hari 20: 10 desember 1989: tidak bisa jalan dengan baik karena luka bakar dikaki
Dipukuli dengan tongkat bamboo
Petasan dimasukin ke anus, lalu disulut
Tangan di penyet (dipukul supaya gepeng) dengan sesuatu yang berat dan kukunya pecah
Dipukulin dengan tongkat dan bola golf
Memasukan roko ke dalam vagina (atau mungkin maksudnya dijadiin asbak, dimatiin di vagina dan abunya dibuang ke dalam)
Dipukulin dengan tongkat besi
Saat itu musim dingin bersalju (dingin pasti minus) disuruh tidur di balkon
Tusuk sate dimasukin ke dalam vagina dan anus menyebabkan pendarahan

Hari 30: cairan lilin panas diteteskan ke mukanya
Lapisan mata dibakar korek api
Dadanya ditusuk-tusuk jarum
Puting kiri dihancurkan dan dipotong dengan tang
Bola lampu panas dimasukan kedalam vagina
Luka berat di vagina karena dimasukin gunting
Tidak bisa buang air dengan normal
Luka sangat parah hingga membutuhkan sejam merangkak turun tangga saja untuk menggunakan kamar mandi
Gendang telinga rusak parah
Ukuran otak menciut sangat sangat banyak

Hari 40: memohon kepada para penyiksa untuk membunuhnya saja dan menyelesaikannya

1 january 1989: junko tidak bisa bangun dari lantai karena tubuhnya dimutilasi

hari ke 44: para cowok itu menyiksa badanya yang termutilasi dengan barbell besi, dengan menggunakan alasan kalah main mahyong. Furuta mengalami pendarahan di hidung dan mulut. Mereka menyiram mukanya dan matanya dengan cairan lilin yang dibakar.

Lalu cairan korek api dituang ke kaki tangan muka, perut dan dibakar. Penyiksaan terakhir ini berlangsung sekitar 2 jam nonstop.

Junko furuta meninggal hari itu dalam rasa nyeri sakit dan sendirian.
Kisah dari tahun 1989 ini nyata
Ini nama nama pemerkosa Junko Furuta :



Boy A : Hiroshi Miyano (+/- 39 tahun)
Boy B: Yuzuru Ogura (setelah lepas penjara mengganti nama menjadi Jo Kamisaku) (+/- 38 tahun)
Boy C: Nobuharu Minato (+/- 37 tahun)
Boy D: Yasushi Watanabe (+/- 38 tahun)

Sumber: http://terlampau.wordpress.com/2011/06/02/inilah-cerita-sadis-junko-furuta-yang-disekap-diperkosa-dan-disiksa-selama-44-hari/

Kasus Tentang Keadilan

Mencari Keadilan dalam Kasus BLBI

Sejumlah saksi dan pejabat yang terkait dalam dugaan kasus korupsi dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipanggil dan diminta keterangan lagi oleh Kejaksaan Agung. Langkah ini sesungguhnya bukan hal yang baru karena sebelumnya berulang kali Kejaksaan memeriksa mereka yang tersangkut BLBI. Sebagian obligor BLBI juga telah diadili. Meskipun ada terpidana yang berhasil kabur, ada juga yang telah mendekam di penjara seperti David Nusa Wijaya yang sebelumnya sempat melarikan diri. Bahkan untuk menuntaskan kasus BLBI, pada pertengahan 2007 lalu, Kejaksaan Agung menyiapkan 35 Jaksa yang secara khusus disiapkan untuk menangani kasus BLBI.
Namun demikian, tekad Kejaksaaan Agung untuk menyelesaikan kasus BLBI dipertanyakan. Terutama karena Kejaksaaan Agung tidak pernah secara terbuka mengungkapkan kebijakan penegakan hukum dalam kasus BLBI. Keterbukaan dan kejelasan arah kebijakan menjadi sangat penting dalam kasus BLBI, terutama karena luasnya dimensi pelanggaran hukum dalam kasus BLBI. Kasus BLBI tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan dana dari BI, tetapi juga pada pengalihan aset, divestasi aset dan bahkan ada indikasi korupsi dalam penegakan hukum BLBI.
Kontroversi BLBI
Karena melibatkan para konglomerat besar dan pejabat teras, pemeriksaan kasus BLBI selalu mengundang kontroversi. Apalagi penyelesaian yang berlarut-larut menunjukkan betapa pemerintah dan khususnya penegak hukum tidak mempunyai sikap yang jelas dan tegas. Ada beberapa catatan penting terkait dengan kontroversi BLBI.
Pertama, dari sisi kebijakan tampak ada inkonsistensi. Para jaksa di Gedung Bundar terlihat sibuk melakukan pemeriksaan dengan memanggil banyak saksi. Akan tetapi tidak ada upaya yang serius, bahkan cenderung tutup mata terhadap kebijakan resmi pemerintah dalam penyelesaian BLBI. Adalah Inpres No. 8 tahun 2002 yang membebaskan obligor BLBI dari tuntutan pidana bila telah mengantongi surat keterangan lunas (SKL). Keberadaan Inpres No. 8 tahun 2002 menunjukkan bagaimana jaksa tampak tidak serius menegakan hukum. Seharusnya, sebelum melakukan pemeriksaan, Jaksa bisa meminta Presiden untuk mencabut Inpres yang kontradiktif dengan hukum positif di Indonesia karena pengembalian kerugian negara tidak serta merta menghilangkan aspek pidana.
Kedua, Jaksa hanya memanggil tersangka tertentu saja. Pada bulan Desember 2007 lalu, yang dipanggil adalah Anthony Salim yang mewakili Keluarga Soedono Salim, mantan pemilik BCA. Bagaimana dengan tersangka yang lain? Ada lebih dari 50 tersangka dalam kasus BLBI tetapi tidak semua diperlakukan sama oleh Kejaksaaan. Bahkan ada obligor yang belum mengantongi SKL tidak pernah diperiksa secara terbuka oleh Kejaksaaan.
Ketiga, dalam kasus korupsi ada istilah “it takes two to tango”. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu pihak, baik yang diperkaya secara tidak sah maupun pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan. Kasus BLBI tidak hanya melibatkan pengusaha yang merugikan negara, tetapi juga otoritas perbankan yang mengucurkan dana BLBI. Dalam perkembangannya, tidak tampak upaya Kejaksaan untuk mengejar pertanggungjawaban otoritas perbankan yang memberikan BLBI tanpa melakukan pengawasan dengan benar. Bahkan Kejaksaan Agung juga tidak meninjau kembali SP3 yang dikeluarkan terhadap mantan Direktur Bank Indonesia, padahal pada saat yang sama media massa dengan gencar mempersoalkan korupsi dana BI yang diduga juga dipergunakan untuk kepentingan pejabat BI.
Keempat, persidangan kasus BLBI juga tidak menunjukkan keseriusan pemerintah dan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap tersangka kasus korupsi paling besar dalam sejarah republik ini. Coba lihat statistik penanganan kasus korupsi BLBI, tampak tidak ada pemidanaan yang menjerakan. Dari dokumentasi ICW, dari 16 kasus yang sudah dituntaskan di pengadilan, hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah melarikan diri. Sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan, bahkan lebih dari 50% dihukum di bawah dua tahun. Lalu bagaimana dengan yang lain? Sebagian diantaranya telah mengantongi SKL, dihentikan proses hukumnya melalui SP3 dan ada pula yang tidak jelas status hukumnya.
Keadilan bagi semua
Agar kasus BLBI bisa diselesaikan, dan tidak menjadi komoditi politik dan hukum serta berujung pada mafia peradilan, ada beberapa langkah yang harus diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mencabut Inpres No. 8 tahun 2002 yang memberikan kekebalan hukum bagi obligor dianggap melunasi kewajibannya. Tanpa pencabutan Inpres itu, jangan pernah berharap ada penegakan hukum dalam kasus BLBI. Publik juga akan pesimis bahwa semua tindakan pemanggilan saksi dan tersangka hanya akan berakhir pada “/deal”/ untuk kepentingan penegak hukum dan elit politik.
Kedua, sebetulnya secara finansial kerugian yang ditimbulkan oleh BLBI sangat besar. Utang yang semula dikucurkan Rp. 144,53 triliun kini telah membengkak lebih dari Rp. 600 triliun yang harus dibayar oleh APBN. Utang konglomerat kini harus dibayar oleh rakyat melalui APBN yang dibiayai dari berbagai pungutan, pajak, dan pendapatan negara lainnya. Dalam kasus BLBI,  sesungguhnya asset recovery tidak signifikan lagi. Pembayaran utang konglomerat pengemplang BLBI itu kini tidak sebanding lagi dengan beban yang harus ditanggung oleh APBN. Karena itu, penegakan hukum adalah opsi terbaik karena selain menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat, penegakan hukum juga menciptakan rasa takut agar tindakan serupa tidak akan dilakukan lagi di masa depan.
Ketiga, kasus BLBI bukan hanya soal penyalahgunaan dana BI itu. Ada tindak pidana lain seperti baru-baru ini terungkap Tommy Soeharto membeli kembali asetnya melalui perusahaan lain atau /vehicle company/. Oleh karena itu, dalam kasus BLBI, KPK juga bisa turun tangan karena ada banyak tindak pidana yang terjadi setelah KPK didirikan sehingga tidak ada hambatan pelanggaran asas retroaktif.
Keempat, Kejaksaaan Agung juga harus melakukan pemeriksaan internal. Siapa jaksa yang memberi ijin keluar negeri tersangka sehingga mereka berhasil melarikan diri? Siapa jaksa yang memutuskan untuk menghentikan perkara melalui SP3? Pemeriksaan internal menjadi penting terutama agar dugaan pemerasan dan mafia peradilan di balik pengungkapan kasus BLBI juga bisa dituntaskan. Terutama agar penyelesaian kasus BLBI benar-benar mengedepankan keadilan bagi semua.
Akibat dari kebijakan BLBI, kini setiap tahun pemerintah harus mengalokasikan pembayaran beban hutang. Kebijakan BLBI pada dasarnya adalah pengalihan hutang swasta menjadi hutang publik yang memberatkan keuangan negara. Besarnya alokasi untuk pembiayaan hutang itu jauh melebihi anggaran pendidikan, kesehatan dan subsidi sosial lainnya. Ujung-ujungnya, masyarakat yang harus menanggung beban itu. Karenanya, soal keadilan bagi semua menjadi sangat relevan dalam kasus BLBI. Keadilan dan juga kepastian hukum tidak hanya milik para tersangka, tetapi juga bagi korban, yakni seluruh rakyat Indonesia.

Sumber: http://danangwd.wordpress.com/2008/04/08/mencari-keadilan-dalam-kasus-blbi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar